Minggu, 30 Januari 2011

Sumpah Pemuda dan Bahasa Alay

Kami putra putri Indonesia mengaku

berbahasa satu

bahasa Indonesia

Teks di atas adalah butir ke 3 dari Sumpah Pemuda. Sumpah 82 tahun yang lalu itu hasil dari Kongres Pemuda II yang dipimpin oleh Soegondo Djojopoespito. Saat itu pemuda kita berjanji untuk tidak lagi berakar primordial dan kesukuan. Dan yang lebih penting, sumpah itu lahir atas dari persamaan nasib dan persamaan tujuan.

Soegondo Djojopoespito, Yamin (sekretaris), Amir Syarifuddin (bendahara) dan kawan-kawan sadar betul bahwa berbahasa itu tak kalah penting dibandingkan berbangsa dan bertanah air. Seperti kita ketahui, intelektual muda kita dahulu hampir semua fasih berbahasa Belanda, lisan maupun tulisan, tapi mereka tidak begitu bangga dengan kemampuan bahasa asingnya. Kemampuan itu memang penting untuk menyerap ilmu dan pergaulan intelektual, namun mereka lebih cinta menggunakan bahasa Indonesia, karena mereka yakin, kecintaan berbahasa merupakan modal dari kebangkitan nasional serta kekuatan untuk membentuk identitas sebuah bangsa.

17 tahun kemudian, tepatnya 1 Juni 1945, lahirlah Pancasila. Lalu dua bulan berikutnya, 17 Agustus 1945 bangsa ini berhasil memproklamasikan kemerdekaannya. Dua peristiwa penting terakhir adalah buah dari peristiwa awal, sehingga bisa disimpulkan bahwa kekuatan Sumpah Pemuda merupakan tonggak dari lahirnya Bangsa Indonesia, yang salah satu butirnya menekankan pada satu bahasa, Bahasa Indonesia.

Bahasa alay yang saya ketahui sekarang adalah tulisan yang disingkat semaunya, tanpa rumus, dan memasukkan angka sebagai huruf. Koreksi bila salah, karena cuma itu yang saya lihat di jejaring sosial dunia maya. Tapi dalam tulisan ini, saya ingin memperlebar definisi bahasa alay. Mereka yang sering menggunakan sisipan bahasa selain Bahasa Indonesia, padahal kita punya sebutan untuk kata itu, lisan maupun tulisan, adalah bahasa alay pula. Alasan mereka mungkin biar dianggap keren dan berpendidikan bisa bahasa asing, meski hanya sepotong. Saya mengkategorikan itu karena mereka juga lebay, terlalu berlebihan, punya identitas sendiri tapi numpang identitas orang lain.

Tidak perlu rasanya saya mencontohkan bahasa Anak Baru Gede (ABG) yang beredar di jejaring sosial dunia maya. Kita semua sudah paham dan memang makin dahsyat, setidaknya menurut saya. Pada awalnya saya beranggapan ah itu cuma kegemaran sesaat anak sekolahan. Ternyata sekarang beberapa teman saya yang usianya bukan ABG lagi, gemar menggunakannya. Apakah kecendrungan ini akan hilang dengan sendirinya? Tampaknya saya ragu.

Kalangan artis dan pejabat kita, termasuk presiden, kalau bicara selalu ada Bahasa inggrisnya. Bila bahasa kita belum punya sebutan untuk makna itu tindakan tersebut bisa dianggap wajar. Mari kita beri contoh presiden kita yang selalu dalam pidatonya menggunakan kata urgent dan arogan (aarogant) Padahal bisa saja menyebutnya penting dan sombong. Tentunya dua kata tadi hanya sebagian kecil dari merebaknya kata asing yang dipaksakan menjadi Bahasa Indonesia. Yang pada akhirnya pemuda kita, artis dan pejabat terseret menggunakan bahasa alay. Mengabaikan sakralnya sumpah untuk berbahasa satu, Bahasa Indonesia.

Mungkin muncul pertanyaan, separah apa pengaruh bahasa alay terhadap Bahasa Indonesia?

Para ABG yang gemar bertutur alay dalam tulisannya sudah jelas merongrong keutuhan Bahasa Indonesia. Bila dalam satu kalimat ada kata-kata gue dan lo mungkin gak terlalu mengganggu sebuah makna. Tapi pada saat sebuah kalimat dan semua kata-kata yang ada dalam kalimat itu disingkat dan dibubuhi angka sebagai huruf, artinya menjadi kabur dan banyak tafsiran. Dalam alay memang gak ada singkatan baku, kita bebas menyingkat kata sendiri dan membiarkan pembaca menafsirkannya dengan panduan kata sebelum dan sesudahnya.

Apabila kegemaran ini berlangsung lama dan makin dicintai, resmilah kita mengubur semangat sumpah pemuda untuk berbahasa satu, bahasa Indonesia. Tidak berbeda dengan bahasa lisan artis dan pejabat kita yang mau bergaya dan sok berpendidikan dengan sisipan bahasa asing.

Salahudin Wahid di opini Kompas hari ini tentang Bangga Berbahasa Indonesia mengutip Djojok Soepardjo bahwa tonggak medernisasi di Jepang bukan hanya Restorasi Meiji 1868, tapi juga kekuatan pada budaya dan kecintaan pada bahasa Jepang yang membuat restorasi berjalan mantap. Karena itu, meski hancur pada Perang Dunia II mereka bangkit dalam 10 tahun, dan tiap tahun mencatat perkembangan ekonomi di atas 10 persen. Ini semua karena kekuatan mencintai bahasa Jepang juga menjadi kekuatan menghadapi modernisasi.

Mungkin ini juga yang menyebabkan beberapa tahun lalu di Candi Borobudur saya bertemu turis Jepang dan mengajak bicara dengan bahasa Inggeris dan dia menolak. Katanya dia bukannya tidak bisa bahasa nomor satu dunia itu, tapi karena dia cinta bahasa Jepang.

Marilah bangkitkan semangat yang bergulir 82 tahun lalu untuk lebih mencintai identitas kita. Dari sana akan muncul kekuatan luar bisa untuk bangkit bersama, karena nasib kita sama, juga tujuan kita sama, seperti yang dicetuskan dengan susah payah oleh Soegondo Djojopoespito dan kawan-kawan.

Kalau tidak bangga, mana bisa kita bangkit?

0 komentar:

Posting Komentar

Related Posts with Thumbnails